Sejarah adalah Identitas Bangsa
Reporter:
Dr. M. Firman Maulana, MA *)
Belum lama berselang bulan muncul isu penghapusan mata pelajaraan Sejarah di tingkat menengah atas, yaitu di SMA dan SMK dimana sebelumnya berkembang isu penghapusan pelajaran agama dan bahasa Arab di madrasah-madrasah. Isu ini muncul setelah beredarnya Draf Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional tanggal 25 Agustus 2020. Disebutkan bahwa pada salah satu butir draf Diknas direncanakan penghapusan mata pelajaran Sejarah bagi siswa-siswi di SMK. Pada pelajar SMA, sejarah akan dijadikan sebagai mata pelajaran pilihan, sehingga Sejarah bukan lagi pelajaran wajib yang harus diajarkan kepada para siswa. Sudah dapat dipastikan isu tersebut akan dibantah setelah banyak elemen masyarakat menolak secara tegas baik melalui demo-demo jalanan maupun serangan gencar melalui mass media.
Pelajaran Sejarah, sesungguhnya merupakan pengetahuan dasar yang wajib diajarkan kepada semua siswa di setiap jenjang pendidikan. Sejarah memiliki peran penting untuk mengenal identitas diri, bangsa, tokoh dan para pahlawannya di setiap bidang kehidupan, baik terkait dengan pahlawan dalam kancah pergerakan politik nasional, pahlawan bidang pengembangan ilmu, pahlawan seni dan budaya, maupun pahlawan bidang ekonomi, sosial dan kemasyarakatan.
Sedemikian rupa, pelajaran Sejarah merupakan pengetahuan yang fundamental yang memiliki peran penting dalam pembentukan jati diri, karakter dan pola fikir siswa. Bunga Karno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri.” Karena itu sangat ironis jika para pemegang kebijakan bidang pendidikan di Indonesia, seperti Mendikbud berwacana untuk menggeser posisi sejarah sebagai mata pelajaran kelompok wajib menjadi kelompok pilihan, atau memposisikannya sebagai pelajaran yang serumpun dengan pelajaran-pelajaran sosial lainnya, seperti Geografi, Sosiologi dan Ekonomi yang terhimpun kedalam pelajaran Ilmu Sosial (IPS). Dengan kata lain sejarah tidak lagi berdiri sendiri namun dilebur dengan mata pelajaran-mata pelajaran serumpun tersebut dalam struktur korelasi kurikulum.
Dengan struktur kurikulum IPS, maka pengurangan jam pelajaran Sejarah tentunya tidak terhindar, karena harus berbagi dengan mata pelajaran-mata pelajaran lainnya. Jika 2 sks untuk pelajaran IPS, maka guru harus membaginya ke dalam pelajaran Sejarah, pelajaran Ekonomi, dan pelajaran Sosiologi dalam satu sesi jam pelajaran sekolah. Terlebih-lebih sebagaimana tertuang dalam draf penyederhanaan kurikulum dan assesmen nasional yang telah dipresentasikan secara internal di kalangan departemen pendidikan dan kebudayaan, mata pelajaran sejarah yang diajarkan di kelas 10, 11 dan 12 yang masing-masing bobotnya 2 sks akan dirubah menjadi pelajaran yang hanya diberikan di kelas 11 dan12 dengan bobot masing-masing 2 sks saja.
Sejarah bukan sekedar pengetahuan masa lalu, namun jauh dari itu sejarah merupakan sebuah keteramplan berfikir bagaimana siswa mampu merekonstruksi dan koneksitas situasi peristiwa masa lalu kedalam konteks sosial kekinian sehingga terbangun sebuah proyeksi masa depan yang gemilang. Sejarah dapat menumbuhkan kesadaran dan menjadi wahana untuk merefleksi sebuah peristiwa terutama untuk menggali hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya sehingga pada akhirnya membuat seseorang menjadi bijak, dewasa, dan tidak mengulang kesalahan-kesalahan masa lalu.
Menurut, Abu Hamid Sulaiman (2017), adalah suatu kegagalan pendidikan, jika suatu bangsa (umat) tidak mempu memahami kegemilangan yang telah dicapai para tokohnya terdahulu, dan tidak mampu mengukur arah perubahan bidang ilmu, budaya dan perdabannya di era modern. Karena itu sejarah menjadi penting artinya bagi suatu bangsa untuk melihat dan memahami koneksitas kekuatan-kekuatan fundamental dan sekaligus menjadi basis proyeksi pembangunan bangsa baik secara material maupun spiritual di era sekarang dan masa depan.
Karena itu persoalan sejarah tentunya bukan sekedar terkait dengan mata lejaran itu sendiri, pengetahuan murid, atau guru sejarah yang secara khusus belajar di Program Studi Sejarah pada fakultas pendidikan, akan tetapi juga terkait dengan masalah identitas bangsa, perjuangan dan eksistensinya. Sejarah kelam bangsa Indonesia misalnya, terkait dengan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI), hal itu tidak bisa dilupakan begitu saja, namun harus dipahami murid dan guru bahkan pemangku kebijakan untuk mempresentasikan Sejarah Nasional secara arif dan bijaksana agar memberikan refleksi kepada seluruh komponen bangsa ini terutama untuk menumbuhkan kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai perjuangan, dan nilai-nilai kemasyarakatan yang adil, makmur dan beradab.
Dalam konteks pendidikan merdeka memang perlu terobasan-terobosan yang lebih berani dan progresif namun tidak perlu mengabaikan nalar kritis dan tetap mempertimbangkan maturitas dan common sense untuk mengangkat bangsa ini ke arah yang lebih baik lagi. Dalam konteks ini Sejarah adalah sebuah keharusan bukan pilihan dan diajarkan di seluruh jenjang dan tingkatan. Kurikulum di jenjang SMA didisains sedemikian rupa untuk keperluan siswa sebagai “modal atau bekal akademik untuk berkembang”. Artinya program pendidikan yang dicanangkan di jenjang ini diproyeksikan untuk kelanjutan studi pada program akademik di tingkatan selanjutnya yang lebih tinggi seperti, mengikuti kuliah di perguruan tinggi. Potensi sejarah dalam hal ini sangat strategis untuk membentuk pola fikir, wawasan dan karakter siswa.
Sedangkan program pendidikan di SMK siswa diproyeksikan untuk memiliki kompetensi keahlian atau vokasional sesuai dengan pilhan masing-masing siswa. Karena itu program studi yang dicanangkan pada program pendidikan SMK berorientasi pada “bekal tuntas”. Artinya program akademik lebih mengarahkan para lulusannya pada penguasaan bidang keahlian tertentu sesuai tuntutan dunia kerja. Karena itu sangat naïf jika mata pelajaran sejarah di SMK posisinya sebagai mata pelajaran pilihan. Karena lulusan SMK bukan sekedar memenuhi kebutuhan dunia kerja, namun mereka harus memiliki karakter yang kuat, berpengetahuan serta memiliki dasar-dasar ideal pemikiran filosofis dalam memaknai kehidupan dan budaya bangsanya. Lulusan SMK bukan untuk memenuhi tuntutan kerja semata dan menjadi robot-robot pemuas para cukong industri dan berhamba pada kaum kapitalis. Ingat bahwa bangsa ini bukanlah bangsa “kuli”. (***)
*) Penulis adalah Dekan Fakultas Agama Islam UISU